Selasa, 28 Mei 2013

Dilematika Rokok dan Dunia Pendidikan Kita

 
Bukan rahasia lagi, rokok dan dunia pendidikan ibarat pepatah “malu-malu tapi mau”. Betapa tidak, ketika dunia pendidikan kita berkata “memusuhi” rokok, pada kenyataannya iklan rokok justru masuk ke dalam dunia pendidikan itu sendiri. “Malu-malu” melarang perokok di area sekolah maupun kampus, tetapi hampir semua aktivitas kegiatan yang diselenggarakan di sekolah maupun di kampus menggunakan sponsor dari perusahaan rokok.

Penetrasi iklan rokok memang luar biasa dalam dunia pendidikan kita. Tampaknya iklan rokok sudah dilakukan sangat sistematis dengan menyasar kelompok anak sekolah dan mahasiswa. Para pengiklan rokok akhir-akhir ini memang lebih senang memberikan sponsor terhadap kegiatan pekan seni dan olahraga di kalangan mahasiswa dan sekolah. Dalam event-event yang kebanyakan dihadiri oleh kalangan pelajar dan mahasiswa, selalu memakai sponsor perusahaan rokok. Ironisnya, event olahraga pun kebanyakan disponsori oleh rokok. Jelas ini sangat bertolak belakang dengan semangat kesehatan.

Dalam suatu kasus, event olahraga yang disponsori perusahaan rokok sudah tidak canggung lagi untuk memasarkan barang mereka dalam bentuk langsung yakni rokok dalam salah satu event olahraga. Perusahaan rokok ini menggunakan rokok sebagai pengganti tiket dalam pelaksanaan event tersebut. Penonton yang kebanyakan pelajar harus membeli rokok untuk bisa masuk dan menyaksikan event tersebut.

Bahkan belakangan ini, penetrasi perusahaan rokok bukan sekadar sebagai sponsor olahraga, melainkan sebagai pemberi beasiswa, tak pelak inilah yang seolah membuat dunia pendidikan kita sudah tidak bisa dipisahkan dari industri rokok.

Dilematis memang jika melihat hal seperti itu terjadi di sekitar kita. Pendidikan memang penting, menginggat pula bahwa biaya pendiikan sekarang memang tidak murah dan sedikit. Sekolah harus memeras otak untuk melaksanakan pendidikan yang berkualitas dengan budget seadanya. Disinlah peran perusahaan rokok muncul. Dengan basic dana besar yang dimiliki perusahaan besar, maka tidak sulit bagi mereka untuk memberikan iming-iming bantuan pendanaan di lingkungan sekolah dan kampus.

Pertanyaannya, apakah hal tersebut merupakan kebenaran? Pada dasarnya perusahaan rokok menghasilkan uang dari usaha "menghancurkan" kesehatan konsumen mereka sendiri, sementara keuntungan dari hal tersebut sangat besar. Perusahaan rokok merupakan perusahaan yang memiliki basic keuntungan yang besar tiap tahunnya di Indonesia. Melihat bahwa besarnya jumlah penduduk di Indonesia, maka kalkulasi keuntungan yang bisa didapatkan juga akan sangat besar.

Ibarat kata, jika dari pemasaran rokok sendiri yang memasang pasar di lingkungan kampus, andaikata dalam lingkungan kampus mahasiswanya berjumlah 40.000 dan kurang dari seperempatnya saja (10. Mahasiswa) adalah perokok aktif, bisa dibayangkan keuntungan yang didapatkan sudah cukup besar. Jika dari 10.000 mahasiswa tadi bisa menghabiskan 1 bungkus rokok sehari, dan keuntungan yang didapat perusahaan rokok per 1 bungkus adalah Rp 1.000,- maka kalkulasinya dalam sehari perusahaan rokok untung 10 jt, kemudian jika dihitung dalam 1 tahun mereka akan mendapat untung 3 milyar lebih. Catatanya adalah, 3 milyar lebih tersebut hanya didapat di satu target pasar saja yakni lingkungan sebuah kampus, dan itu belum termasuk dari target pasar lainya.

Kemudian perusahaan rokok mendistribusaikan keuntungan mereka ke sekolah atau lingkungan kampus dalam bentuk beasiswa senilai 2 milyar dalam 1 tahun, maka mereka (perusahaan rokok) masih mendapat surplus yang besar dari kegiatan mereka. Maka tak heran jika perusahaan rokok mamasang target lingkungan sekolah atau kampus, karena potensi untuk mengembalikan keuntungan mereka ke masyarakat dalam bentuk "bantuan" dapat dengan mudah teralihkan. Benar-benar sebuah bentuk atau cara yang pintar dalam melakukan perputaran uang demi mendapat keuntungan yang lebih besar.

Minggu, 26 Mei 2013

"Masih Banyak Celah Kok Nyerah" 3 Tips Jadi Perokok Keren


Kalau bisa berhenti konon lebih baik, tapi jika tidak mau atau belum waktunya berhenti, ya buat apa memaksa diri? Kita bisa kok merokok dengan cara yang keren.

Berikut ini tiga tips untuk jadi perokok keren yang jantan, seksi,  independen, setiakawan dan sukses. Persis sebagaimana tergambar di berbagai iklan rokok.

  1. Sebagai perokok, indera kita lebih awas dari non perokok. Manfaatkan kewaspadaan itu untuk menyadari, apakah di sekitar kita ada anak-anak, wanita hamil atau siapapun yang punya masalah jantung dan pernafasan. Kendalikan diri untuk tidak merokok di sekitar mereka.
  2. Rokok terbukti meningkatkan daya ingat dan daya nalar. Gunakan kelebihan itu untuk selalu ingat bahwa asap dapat bergerak jauh sekali. Dalam gedung tertutup, asap dari satu ruangan bisa bergerak ke ruangan lain lewat saluran udara. Dalam ruangan tertutup dan dalam kendaraan, asap rokok pasti terhisap oleh semua orang di dalamnya. Merokok di tempat macam itu jelas membahayakan orang lain, jangan dilakukan.
  3. Sebagaimana bread winner yang gagah perkasa, di luar rumah berjuang sampai kotor, berdarah-darah dan berjelaga itu biasa... Tapi sarang suci kita, istana kita, tetap bersih, nyaman dan sehat untuk ditinggali orang tercinta. Karena itulah, jika tinggal serumah bersama orang lain, jagalah agar rumah selalu bebas dari asap rokok. Pastikan hanya merokok di luar rumah, jauh dari jendela, pintu dan saluran masuk udara.
Mengaplikasikan tiga tips tersebut akan membuat kita jadi perokok sejati yang mampu mengendalikan diri sendiri. Perokok jantan yang bikin nyaman karena selalu peduli dengan keamanan dan kesehatan orang-orang di sekitarnya.

Selamat menjadi perokok yang keren :)

Refleksi (Lembaga) Pendidikan Saat Ini



Orientasi pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia (Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia)
Ada sebuah kisah nyata menarik yang kemudian diceritakan oleh Sir Ernest Rutherford (Presiden dari Royal Academy dan penerima Nobel Fisika). Ini kisahnya
“Beberapa waktu lalu aku menerima panggilan dari kolegaku. Dia akan memberikan nilai nol untuk ujian Fisika salah seorang siswanya, tapi siswa tersebut berkeras dia harus mendapatkan nilai sempurna. Sang instruktur dan siswa tersebut sepakat untuk memilih penengah yang obyektif dan aku yang dipilih”.
Soal ujiannya berbunyi: “Tunjukkan cara mengukur tinggi sebuah gedung dengan bantuan barometer.”
Siswa itu menjawab: “Bawa barometer tersebut ke puncak gedung, ikatkan dengan sebuah tali, turunkan sampai ke jalan lalu tarik kembali ke atas, ukur panjang tali. Panjang tali itu adalah sama dengan tinggi gedung.”
Siswa tersebut berhak meminta nilai penuh karena dia menjawab dengan lengkap dan benar. Di sisi lain, nilai penuh harusnya diberikan atas dasar kompentensi di bidang fisika, dan jawabannya tidak menunjuikkan hal ini. Aku menyarankan ujian ulang. Aku memberikan waktu enam menit untuk menjawab soal yang sama dengan syarat harus dijawab menggunakan dalil-dalil fisika.
Lima menit berlalu, dia masih belum menulis apa-apa. Aku menanyakan apa dia mau menyerah, tapi dia menjawab kalau dia punya banyak solusi, dia cuma memikirkan solusi yang terbaik. Aku menyuruhnya melanjutkan dan pada menit berikutnya dia menyerahkan jawabannya yang berbunyi “Bawa barometer ke puncak gedung, jatuhkan, dan ukur waktunya dengan stopwatch, lalu menggunakan rumus ‘Jarak=0,5*percepatan*waktu^2, tinggi gedung bisa diukur.”
Saat ini aku meminta kolegaku untuk menyerah. Dia setuju dan memberikan siswanya nilai penuh. Saat meninggalkan ruang ujian aku teringat bahwa siswa itu punya beberapa solusi, jadi aku menanyakan solusi apa saja itu.
Siswa itu menjawab, “ada banyak cara mengukur tinggi gedung dengan bantuan barometer. Misalnya, membawa barometer ke luar, lalu mengukur tinggi barometer dan panjang bayangannya, dan mengukur panjang bayangan gedung, dan dengan rumus perbandingan sederhana tinggi gedung bisa diketahui.”
Siswa itu melanjutkan, “Kalau Anda mau cara yang lebih rumit, ikat barometer dengan tali, ayun seperti bandul di lantai dasar dan di atap untuk menghitung nilai gravitasi. Dari perbedaan nilai gravitasi tinggi gedung bisa dihitung.”
Siswa itu melanjutkan lagi,”Dengan metode yang sama, bila dari atap talinya di ulur sampai ke dasar lalu diayunkan seperti bandul, tinggi gedung bisa dihitung melalui periode ayunan.”
Terakhir, siswa itu berkata lagi, “Ini cara kesukaan saya. Bawa barometer ke tempat pemilik gedung lalu katakan: ‘Pak, ini ada sebuah barometer, bila Anda memberitahukan tinggi gedung Anda, saya akan memberikan barometer ini untuk Anda.”
Saya bertanya apakah dia tidak mengetahui cara konvensional untuk memecahkan masalah tersebut. Dia jawab kalau dia tahu, tapi dia tidak mau terpaku pada satu pola pemikiran saja.
Pertanyaan kemdudian adalah siapakah siswa tersebut? Beliau adalah Neils Bohr. Seorang Fisikawan terkemuka abad 20, dengan menduduki prestasi puncak Nobel pada bidang Fisika pada tahun 1922. Pada 17 Oktober 2012 lalu, google bahkan memperingati hari kelahirannya. berikut adalah gambar tampilan google tersebut.

Apa yang menarik dari kisah nyata tersebut adalah bukan semata-mata memperlihatkan kejeniusan seseorang, guru atau dosennya yang senang menyalahkan muridnya, ataupun kita bisa melihat hal tersebut bahwa peribahasa banyak jalan menuju roma itu benar adanya, namun kisah tersebut adalah suatu refleksi dari pendidikan kita, atau secara khusus lembaga pendidikan kita. Lembaga pendidikan kita kurang memperhatikan suatu pemikiran tertentu yang dikeluarkan peserta didiknya, walaupun pemikiran itu merupakan kebenaran.
Orientasi pendidikan menurut mayoritas tokoh pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Hal ini seperti dikatakan oleh Ki hajar Dewantara dari Indonesia, James Cone dari Amerika maupun Paulo Freire dari Brazil. Apa maksudnya? Pendidikan seharusnya bertujuan untuk membebaskan manusia dan menjadikan manusia kembali ke hakikatnya. Hakikat bahawa ia adalah makhluk yang bermartabat, sebagai hamba Illah, makhluk individual sekaligus sosial dan peduli lingkungan sekitar. Kata kuncinya adalah penyadaran yang merupakan inti dari proses belajar-mengajar (bukan hanya murid, tapi juga segala pihak dalam institusi pendidikan). Seringkali lembaga pendidikan seperti sekolah tidak mendidik siswa menjadi kreatif, namun mendidik siswa menjadi penghafal dan mengikuti saja apa yang diajarkan, sehingga kreatifitas menjadi tumpul.
Kisah ini setidaknya menjadi cambukan untuk dunia pendidikan bahwa sudah saatnya pendidikan berorientasi pada proses bukan pada hasil, berorientasi pada kualitas dan bukan pada kuantitas, dan berorientasi memanusiakan manusia bukan mengkotak kotakkan manusia. Lembaga pendidikan seolah terowongan panjang di mana ada setitik cahaya di ujung yang menunjukkan bahwa kita dapat keluar darinya. Kita lupa bahwa di atas terowongan itu, di balik terowongan itu masih terdapat langit yang terhampar luas. Ya, pendidikan bukan untuk mengotak-kotakkan manusia, namun membebaskan manusia. Jaya terus pendidikan Indonesia!