Minggu, 26 Mei 2013

Refleksi (Lembaga) Pendidikan Saat Ini



Orientasi pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia (Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia)
Ada sebuah kisah nyata menarik yang kemudian diceritakan oleh Sir Ernest Rutherford (Presiden dari Royal Academy dan penerima Nobel Fisika). Ini kisahnya
“Beberapa waktu lalu aku menerima panggilan dari kolegaku. Dia akan memberikan nilai nol untuk ujian Fisika salah seorang siswanya, tapi siswa tersebut berkeras dia harus mendapatkan nilai sempurna. Sang instruktur dan siswa tersebut sepakat untuk memilih penengah yang obyektif dan aku yang dipilih”.
Soal ujiannya berbunyi: “Tunjukkan cara mengukur tinggi sebuah gedung dengan bantuan barometer.”
Siswa itu menjawab: “Bawa barometer tersebut ke puncak gedung, ikatkan dengan sebuah tali, turunkan sampai ke jalan lalu tarik kembali ke atas, ukur panjang tali. Panjang tali itu adalah sama dengan tinggi gedung.”
Siswa tersebut berhak meminta nilai penuh karena dia menjawab dengan lengkap dan benar. Di sisi lain, nilai penuh harusnya diberikan atas dasar kompentensi di bidang fisika, dan jawabannya tidak menunjuikkan hal ini. Aku menyarankan ujian ulang. Aku memberikan waktu enam menit untuk menjawab soal yang sama dengan syarat harus dijawab menggunakan dalil-dalil fisika.
Lima menit berlalu, dia masih belum menulis apa-apa. Aku menanyakan apa dia mau menyerah, tapi dia menjawab kalau dia punya banyak solusi, dia cuma memikirkan solusi yang terbaik. Aku menyuruhnya melanjutkan dan pada menit berikutnya dia menyerahkan jawabannya yang berbunyi “Bawa barometer ke puncak gedung, jatuhkan, dan ukur waktunya dengan stopwatch, lalu menggunakan rumus ‘Jarak=0,5*percepatan*waktu^2, tinggi gedung bisa diukur.”
Saat ini aku meminta kolegaku untuk menyerah. Dia setuju dan memberikan siswanya nilai penuh. Saat meninggalkan ruang ujian aku teringat bahwa siswa itu punya beberapa solusi, jadi aku menanyakan solusi apa saja itu.
Siswa itu menjawab, “ada banyak cara mengukur tinggi gedung dengan bantuan barometer. Misalnya, membawa barometer ke luar, lalu mengukur tinggi barometer dan panjang bayangannya, dan mengukur panjang bayangan gedung, dan dengan rumus perbandingan sederhana tinggi gedung bisa diketahui.”
Siswa itu melanjutkan, “Kalau Anda mau cara yang lebih rumit, ikat barometer dengan tali, ayun seperti bandul di lantai dasar dan di atap untuk menghitung nilai gravitasi. Dari perbedaan nilai gravitasi tinggi gedung bisa dihitung.”
Siswa itu melanjutkan lagi,”Dengan metode yang sama, bila dari atap talinya di ulur sampai ke dasar lalu diayunkan seperti bandul, tinggi gedung bisa dihitung melalui periode ayunan.”
Terakhir, siswa itu berkata lagi, “Ini cara kesukaan saya. Bawa barometer ke tempat pemilik gedung lalu katakan: ‘Pak, ini ada sebuah barometer, bila Anda memberitahukan tinggi gedung Anda, saya akan memberikan barometer ini untuk Anda.”
Saya bertanya apakah dia tidak mengetahui cara konvensional untuk memecahkan masalah tersebut. Dia jawab kalau dia tahu, tapi dia tidak mau terpaku pada satu pola pemikiran saja.
Pertanyaan kemdudian adalah siapakah siswa tersebut? Beliau adalah Neils Bohr. Seorang Fisikawan terkemuka abad 20, dengan menduduki prestasi puncak Nobel pada bidang Fisika pada tahun 1922. Pada 17 Oktober 2012 lalu, google bahkan memperingati hari kelahirannya. berikut adalah gambar tampilan google tersebut.

Apa yang menarik dari kisah nyata tersebut adalah bukan semata-mata memperlihatkan kejeniusan seseorang, guru atau dosennya yang senang menyalahkan muridnya, ataupun kita bisa melihat hal tersebut bahwa peribahasa banyak jalan menuju roma itu benar adanya, namun kisah tersebut adalah suatu refleksi dari pendidikan kita, atau secara khusus lembaga pendidikan kita. Lembaga pendidikan kita kurang memperhatikan suatu pemikiran tertentu yang dikeluarkan peserta didiknya, walaupun pemikiran itu merupakan kebenaran.
Orientasi pendidikan menurut mayoritas tokoh pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Hal ini seperti dikatakan oleh Ki hajar Dewantara dari Indonesia, James Cone dari Amerika maupun Paulo Freire dari Brazil. Apa maksudnya? Pendidikan seharusnya bertujuan untuk membebaskan manusia dan menjadikan manusia kembali ke hakikatnya. Hakikat bahawa ia adalah makhluk yang bermartabat, sebagai hamba Illah, makhluk individual sekaligus sosial dan peduli lingkungan sekitar. Kata kuncinya adalah penyadaran yang merupakan inti dari proses belajar-mengajar (bukan hanya murid, tapi juga segala pihak dalam institusi pendidikan). Seringkali lembaga pendidikan seperti sekolah tidak mendidik siswa menjadi kreatif, namun mendidik siswa menjadi penghafal dan mengikuti saja apa yang diajarkan, sehingga kreatifitas menjadi tumpul.
Kisah ini setidaknya menjadi cambukan untuk dunia pendidikan bahwa sudah saatnya pendidikan berorientasi pada proses bukan pada hasil, berorientasi pada kualitas dan bukan pada kuantitas, dan berorientasi memanusiakan manusia bukan mengkotak kotakkan manusia. Lembaga pendidikan seolah terowongan panjang di mana ada setitik cahaya di ujung yang menunjukkan bahwa kita dapat keluar darinya. Kita lupa bahwa di atas terowongan itu, di balik terowongan itu masih terdapat langit yang terhampar luas. Ya, pendidikan bukan untuk mengotak-kotakkan manusia, namun membebaskan manusia. Jaya terus pendidikan Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar